Jumat, 06 Desember 2013

Agenda Sistem Komunikasi Indonesia


1.      Agenda SKI Kita
Ada beberapa hal yang layak dicermati sehubungan dengan semakin diberikannya ruang publik rakyat yang berimbas pada perubahan dalam arus komunikasinya.

1. Sistem Komunikasi Indonesia harus memfungsikan partisipasi rakyat secara lebih besar. Sebab sebuah sistem tanpa dukungan rakyat tidak akan berjalan baik. Tak lain karena rakyat juga salah satu elemen penting bagi kesuksesan sistem komunikasi. Sistem komunikan yang tidak memberikan rakyat untuk memfungsikan dirinya dalam sistem komunikasi sama saja sistem komunikasi itu mengalami set back (langkah mundur).

2. SKI sudah memasuki sistem yang lebih terbuka. Dan kenyataan ini menjadi sesuatu yang baik bagi proses SKI, sebab suatu sistem mempunyai ciri terbuka. Menjadikan SKI tertutup sama saja mengingkari realita sosialnya. Sistem komunikasi Indonesia sudah memasuki era penggunaan media massa yang menuntutnya untuk tak tertutup. Internet salah satu realitas yang tak bisa dipungkiri yang mempengaruhi diberlakukannya sistem komunikasi yang terbuka. 

3. Ruang publik rakyat harus tetap dipertahankan dan diberikan dalam kadar yang lebih “kini dan masa datang”. Mengingat komunikasi ibarat aliran darah yang mengalir pesan ke jantung pemrosesan sistem, dan hasil pemrosesan tersebut dialirkan kembali oleh komunikasi yang selanjutnya menjadi feedback.

4. Sistem Komunikasi menjadi alat pemintal yang menghubungkan antar sistem dalam masyarakat. Ini dilatarbelakangi oleh suatu kenyataan bahwa kita hidup dengan komunikasi. Ruang publik yang bebas (the free public sphere) menjadi sebuah “lembaga sosial” bagi berjalannya proses pemintalan tersebut. Sistem komunikasi harus mampu mempersatukan perbedaan multikultur masyarakat Indonesia. Ini artinya, sistem komunikasi harus bisa mendukung integrasi masyarakat Indonesia. Meskipun diakui bahwa perbedaan multikultur itu juga berpeluang munculnya disintegrasi. Tetapi tanpa ada usaha kearah itu sistem komunikasi bisa dikatakan telah gagal menjadi “media” perubahan dan perbedaan.

5. Peran media massa menjadi sangat penting ditengah komunitas masyarakat yang kian besar. Media dalam SKI menjadi unsur penghubung antar berbagai komponen masyarakat. Opini publik yang dibentuk media massa berpengaruh langsung terhadap gerak dan rotasi SKI. Dan juga sejalan dengan diberikannya ruang publik yang bebas kepada masyarakat. Media massa harus diberikan ruang bebas yang cukup agar bisa mengalokasikan kepentingan masyarakat dan pemerintah secara baik. Meskipun hal ini seringkali justru bertolak belakang. Alasannya, pemerintah dan masyarakat bahkan pers punya tuntutan yang berbeda satu sama lain.

Tugas Sunda Kelapa dan Foto Formal / Informal

 bapak pendayung sampan
 aktifitas memindahkan barang dari truk ke kapal
 Hyper focal focus
 Selective Focus
 Siluet
 Panning
 Motion Blur
 In formal photo
in Formal photo

Fotografi Jurnalistik

Fotografi Jurnalistik adalah foto yang memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri, melengkapi suatu berita dan dimuat dalam suatu media. Foto jurnalistik harus didukung oleh caption yang berisi penjelasan dari foto. Beberapa makna fotografi jusnalistik dari berbagai sumber:
1.Menurut Wilson Hick redaktur senior majalah ’Life’ (1937-1950) dalam buku World and Pictures, foto jurnalistik adalah media komunikasi verbal dan visual yang hadir bersamaan.
2.Menurut Henri Cartier-Bresson, pendiri agen foto terkemuka di dunia dengan teorinya Decisive Moment, foto jurnalistik adalah berkisah dengan sebuah gambar, melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra tersembut mengungkap sebuah cerita.
3.Menurut Oscar Motulohm, fotografer professional, foto jurnalistik adalah suatu medium sajian informasi untuk menyampaikan beragam bukti visual atas berbagai peristiwa kepada masyarakat seluas-luasnnya secara cepat.
4.Menurut Zainuddin Nasution, tokoh foto jurnalistik asal Surabaya, foto jurnalistik adalah jenis foto yang digolongkan foto yang tujuan pemotretan karena keinginan bercerita kepada orang lain. Jadi foto-foto jenis ini berkepentingan dalam menyampaikan pesan kepada orang lain dengan maksud agar orang lain melakukan sesuatu tindakan psikologis.
5.Dalam buku serial Photojournalistic yang diterbitkan oleh Time Life diungkapkan bahwa,  foto-foto yang dihasilkan oleh para wartawan foto seperti yang ada di media massa adalah pers foto foto berita yang penekanannya pada perekaman fakta otentik. Misalnya foto yang menggambarkan kebakaran, kecelakaan, pengusuran dll. Foto-foto itu, ingin menceritakan sesuatu yang akan membuat orang memberikan feed back dan bertindak.

Foto jurnalistik memiliki pesan yang jelas dari sebuah peristiwa, tetapi dibuat dengan kemampuan teknologi secara otentik.

Rabu, 13 Maret 2013

Konsep Dasar Jurnalistik 

 

Hasil karya jurnalistik yang baik tidak akan lahir begitu saja, proses panjang akan selalu menyertainya, hingga "pena" sang kuli tinta begitu mantap ditorehkan pada lembaran kertas putih. Banyak karya jurnalistik yang membooming, karena kecerdasan dan improvisasi pemburu disket ini termasuk karya yang bersumber pada “shock news” atau berita kejutan seperti tabrakan kereta api, pesawat jatuh, kebakaran dan lain-lain yang tak pernah terencanakan, namun ada juga karya yang dihasilkan dari perencanaan matang, setelah kuli tinta mencermati sebuah realitas berita.
Setiap karya jurnalistik yang beredar di khalayak, selalu didasari oleh tujuan tertentu, yang hal itu telah terumuskan dalam perencanaan kerja jurnalistik. Di antara tujuan karya tersebut adalah sebagai pembentuk opini atau pendapat masyarakat, media massa mempengaruhi pikiran mayarakat secara cepat dan merata. Berita atau tulisan-tulisan di surat kabar atau majalah bahkan dianggap oleh masyarakat memiliki kebenaran absolut dan final. Berita atau tulisan di surat kabar sering dijadikan acuan masyarakat untuk menentukan pilihan.
Banyak contoh yang mengungkapkan betapa tulisan di surat kabar atau di media elektronik dianggap sudah pasti benar, seperti berita tentang hasil penelitian seorang ilmuwan yang mengungkap fenomena yang berkembang di masyarakat, misalnya kasus mahasiswa di yogyakarta yang sekian persen pernah melakukan hubungan seksual dan lain-lain, cukup mempengaruhi masyarakat begitu rupa sehingga terbentuk opini. Dengan kata lain karya jurnalistik yang dihasilkan oleh wartawan hingga saat ini memiliki kekuatan dalam mempengaruhi pikiran bahkan keputusan yang hendak diambil oleh masyarakat baik secara personal maupun kelembagaan.
Untuk dapat menghasilkan karya jurnalistik yang cukup apik dan memiliki daya pengaruh yang begitu kuat, perlu persyaratan yang harus diketahui dan dipenuhi oleh mereka yang memproduksi karya jurnalistik. Dan di dalam karya tulisan ini akan dijelaskan secara gamblang tentang jurnalistik, baik sebagai ilmu, karya maupun aktivitas.
Menilik dari asal kata, Jurnalistik berasal dari kata diurnal (latin) artinya harian atau setiap hari atau dari kata du jour (Perancis), yang berarti hari (Effendi, 1993 :95), sedangkan kata journal berarti catatan harian, yang biasanya berisi hal-hal yang penting dan menarik (Wahyudi, 1996 :1)
Dengan mengacu asal makna kata tersebut, banyak pakar dan praktisi jurnalistik kemudian mengajukan beberapa pengertian jurnalistik.
1. Adinegoro dalam bukunya Publisistik dan Jurnalistik menyatakan bahwa jurnalistik adalah keterampilan seseorang untuk mencari, mengumpulkan, mengolah berita, dan menyajikan secepatnya pada khalayak (Adinegoro, 1961).
2. Onong Uchyana Effendy menyatakan bahwa jurnalistik merupakan teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai kepada menyebarkanluaskannya kepada khalayak (Effendy : 1993 :95)
3. M. Djen Amar menyatakan bahwa jurnalistik merupakan usaha memproduksi kata-kata dan gambar-gambar yang dihubungkan dengan proses transfer ide/gagasan dengan bentuk suara.
4. Dalam Ilmu publisistik dijelaskan bahwa jurnalistik merupakan salah satu bentuk publisistik / komunikasi yang menyiarkan berita atau ulasan berita tentang peristiwa-peristiwa sehari-hari yang umum dan actual dengan secepat-cepatnya.
5. Suf Kasman menyatakan bahwa jurnalistik adalah suatu kepandaian untuk menuliskan hal-hal yang baru terjadi dengan cara menaruh perhatian dengan maksud agar diketahui orang sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya.
6. JB. Wahyudi melihat pengertian Jurnalistik dari 3 (tiga) sisi, yakni ; sisi ilmu, proses dan karya. (Wahyudi, 1996 :1)
Pertama, Dari sisi ilmu Jurnalistik dipandang sebagai salah satu ilmu terapan (applied sciences) dari ilmu komunikasi, yang mempelajari keterampilan seseorang dalam mencari, mengumpulkan, menyeleksi dan mengolah informasi yang mengandung nilai berita menjadi karya jur:nalistik, sertamenyajika kepada khalayak, melalui media massa periodic, baik cetak maupun eletronik.
Kedua, Dari Proses Jurnalistik adalah setiap kegiatan mencari, mengumpulkan, menyeleksi, dan mengolah informasi yang mengandung nilai berita, serta menyajikan kepada khalayak melalui media massa baik cetak maupun elektronik.
Ketiga, Dari sisi Karya Jurnalistik adalah uraian fakta dan atau pendapat yang mengandung nilai berita, dan penjelasan masalah hangat yang sudah disajikan kepada khalayak melalui media masssa periodic baik cetak maupun elektronik.
Berangkat dari pengertian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa jurnalistik merupakan sebuah proses kerja informasi yang menghasilkan karya informasi, di mana proses tersebut secara rinci merupakan proses pencarian, pengumpulan, penyeleksian dan pengolahan informasi yang mengandung nilai berita menjadi karya jurnalistik, dan penyajiannya kepada khalayak melalui media massa periodic cetak maupun elektronik memerlukan keahlian, kejelian dan keterampilan tersendiri, yaitu keterampilan jurnalistik. Penerapan keterampilan jurnalistik harus dilandasi oleh prinsip yang mengutamakan kecepatan, ketepatan, kebenaran, kejujuran, keadilan, keseimbangan dan tidak berprasangka.
Karena itu pula Luwi Ishwara (2005) menyatakan bahwa Jurnalistik atau jurnalisme, selalu memiliki ciri-ciri yang khas, antara lain
a. Skeptis, yaitu adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah tertipu. Inti dari skeptis adalah keraguan. Media janganlah puas dengan permukaan sebuah peristiwa serta enggan untuk mengingatkan kekurangan yang ada di dalam masyarakat. Wartawan haruslah terjun ke lapangan, berjuang, serta menggali hal-hal yang eksklusif.
b. Bertindak (action) ,yaitu wartawan tidak menunggu sampai peristiwa itu muncul, tetapi ia akan mencari dan mengamati dengan ketajaman naluri seorang wartawan.
c. Berubah, yaitu perubahan merupakan hukum utama jurnalisme. Media bukan lagi sebagai penyalur informasi, tapi fasilitator, penyaring dan pemberi makna dari sebuah informasi.
d. Seni dan Profesi, yaitu wartawan melihat dengan mata yang segar pada setiap peristiwa untuk menangkap aspek-aspek yang unik.
e. Peran Pers, yaitu pers sebagai pelapor, bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan peristiwa-peristiwa di luar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa prasangka. Selain itu, pers juga harus berperan sebagai interpreter, wakil publik, peran jaga, dan pembuat kebijaksanaan serta advokasi.
Satu hal yang perlu diperhatikan oleh pelaksana jurnalistik adalah media massa yang merupakan sarana untuk penuangan karya. Artinya perlu bagi pelaksana jurnalistik memahami karakter masing-masing media massa yang hendak digunakan. Dalam kaitan itu pula kemudian Baswichwith (1946) sebagaimana diungkapkan Onong Uhyana Effendy (1993) dan JB Wahyudi (1996) memberikan sebuah pandangan tentang media massa yang hendak digunakan haruslah memenuhi beberapa criteria, yaitu :
a. Publisitas
Yang dimaksud dengan publisitas (publicity) ialah penyebaran kepada publik atau khalayak. Karena diperuntukkan khalayak, maka sifat dari karya jurnalistik adalah umum. Isi karya jurnalistik terdiri dari berbagai hal yang erat kaitannya dengan kepentingan umum.
b. Universalitas
Yang dimaksud dengan universalitas (universality) ialah kesemestaan isinya, aneka ragam dan dari seluruh dunia.
c. Periodesitas
Merupakan keteraturan terbit dan tersiarnya sebuah karya jurnalistik dalam bentuk harian, mingguan atau lainnya, sepanjang ada konsistensi dalam “kemunculannya” di masyarakat
d. Kontinyuitas
Artinya karya yang dihasilkan dan kemudian disajikan lewat media massa tersebut haruslah bekesinambungan, sampai fakta dan pendapat yang mengandung nilai berita itu tidak lagi dinilai penting atau menarik oleh sebagaian besar khalayak.
e. Aktualitas
Aktualitas (actuality) berarti isi pesan yang disampaikan harus memenuhi nilai “kebaruan” dan keadaan sebenarnya.
Kembali kepada kekuatan daya pengaruh yang dimiliki oleh karya jurnalistik dalam mempengaruhi khalayak, Onong Uchyana Effendi menyatakan bahwa daya kekuatan itu memiliki relevansi dengan keberadaan pers yang sedari awal memiliki beberapa fungsi, antara lain :
a. Fungsi menyiarkan informasi (to inform)
pers memberikan “segepok” informasi mengenai suatu peristiwa yang sedang terjadi, dan informasi tersebut teramat dibutuhkan oleh khalayak. Dengan demikian melalui karya jurnalistik, pers menyampaikan serangkaian gagasan, pikiran, pendapat atau fakta kepada khalayak sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya masing-masing.
b. Fungsi mendidik ( to educate)
Fungsi ini dapat diartikan bahwa pers hakekatnya merupakan sarana pendidikan massa, di mana karya jurnalistik yang memuat tulisan ataupun produk citra bergerak lainnya yang mengandung pengetahuan, sehingga khalayak penikmat bertambah pengetahuannya. Fungsi mendidik ini secara implicit dapat berupa berita, secara eksplisit berbentuk artikel, ataupun tajuk rencana, ataupun bentuk lainnya.
c. Fungsi Menghibur (to entertaint)
Hal-hal yang bersifat hiburan seringkali ditampilkan dalam setiap karya jurnalistik, apakah yang bersifat cetak ataupun elektronik. Tujuan penampilan itu untuk mengimbangi berita yang sifatnya berat dan artikel-artikel yang berbobot. Adapun bentuk dapat berupa cerita, film, cerita bergambar atau yang lainnya.
d. Fungsi Mempengaruhi. (to Persuate)
Fungsi ini menyebabkan karya jurnalistik memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain melalui pandangan, pikiran, gagasan yang tertuang dalam setiap karya jurnalistik yang dibaca, dilihat dan dinikmati mampu mempengaruhi jalan pemikiran pandangan dan pendapat masyarakat

Art







Gallery










Jenis-jenis Berita dalam Jurnalistik

  • Straight news report : Laporang langsung mengenai suatu berita
Berita yang memiliki nilai penyajian objektif tentang fakta-fakta yang dapat dibuktikan, biasanya di tulis dengan unsur-unsur yang dimulai dengan what, who, when, where, why, dan how (5W + 1H)

  • Depth news report : Reporter (wartawan) menghimpun informasi dengan fakta-fakta mengenai peristiwa itu sendiri sebagai informasi tambahan untuk peristiwa itu.

  • Comprehensive news : Laporan tentang fakta yang bersifat menyeluruh ditinjau dari berbagai aspek.

  • Interpretative report : Memfokuskan sebuah isu, masalah atau peristiwa kontroversial. Laporan intreptatif biasanya dipusatkan untuk menjawab pertanyaan mengapa.

  • Feature story : Penulis menyajikan suatu pengalaman pembaca yang lebih bergantung pada gaya menulis dan humor dari pada pentingnya informasi yang disajikan.

  • Depth reporting : Laporan jurnalitik yang bersifat mendalam, tajam lengkap dan utuh tentang suatu peristiwa fenomenal dan aktual.

  • Investigative reporting : Berita memusatkan pada masalah daan kontroversi.

  • Editorial writing : Pikiran sebuah institusi yang diuji didepan sidang pendapat umum. Penyajian fakta dan opini yang menafsirkan berita penting yang mempengaruhi pendapat umum.

Teori Bill Kovach




sepuluh elemen jurnalisme yang dirumuskan oleh Bill Kovach dan Tom Rosentiel, adalah sebagai berikut:

1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran

Kewajiban para jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk “kebenaran jurnalistik” yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional. Ini bukan kebenaran mutlak atau filosofis. Tetapi, merupakan suatu proses menyortir (sorting-out) yang berkembang antara cerita awal, dan interaksi antara publik, sumber berita (newsmaker), dan jurnalis dalam waktu tertentu. Prinsip pertama jurnalisme—pengejaran kebenaran, yang tanpa dilandasi kepentingan tertentu (disinterested pursuit of truth)—adalah yang paling membedakannya dari bentuk komunikasi lain.
Contoh kebenaran fungsional, misalnya, polisi menangkap tersangka koruptor berdasarkan fakta yang diperoleh. Lalu kejaksaan membuat tuntutan dan tersangka itu diadili. Sesudah proses pengadilan, hakim memvonis, tersangka itu bersalah atau tidak-bersalah. Apakah si tersangka yang divonis itu mutlak bersalah atau mutlak tidak-bersalah? Kita memang tak bisa mencapai suatu kebenaran mutlak. Tetapi masyarakat kita, dalam konteks sosial yang ada, menerima proses pengadilan –serta vonis bersalah atau tidak-bersalah– tersebut, karena memang hal itu diperlukan dan bisa dipraktikkan. Jurnalisme juga bekerja seperti itu.

2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens)

Organisasi pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain. Semua itu harus dipertimbangkan oleh organisasi pemberitaan yang sukses. Namun, kesetiaan pertama harus diberikan kepada warga (citizens). Ini adalah implikasi dari perjanjian dengan publik.
Komitmen kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga ini adalah makna dari independensi jurnalistik. Independensi adalah bebas dari semua kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik. Jadi, jurnalis yang mengumpulkan berita tidak sama dengan karyawan perusahaan biasa, yang harus mendahulukan kepentingan majikannya. Jurnalis memiliki kewajiban sosial, yang dapat mengalahkan kepentingan langsung majikannya pada waktu-waktu tertentu, dan kewajiban ini justru adalah sumber keberhasilan finansial majikan mereka.

3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi

Yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni, adalah disiplin verifikasi. Hiburan –dan saudara sepupunya “infotainment”—berfokus pada apa yang paling bisa memancing perhatian. Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta, demi tujuan sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa yang terjadi, seperti apa adanya.
Disiplin verifikasi tercermin dalam praktik-praktik seperti mencari saksi-saksi peristiwa, membuka sebanyak mungkin sumber berita, dan meminta komentar dari banyak pihak. Disiplin verifikasi berfokus untuk menceritakan apa yang terjadi sebenar-benarnya. Dalam kaitan dengan apa yang sering disebut sebagai “obyektivitas” dalam jurnalisme, maka yang obyektif sebenarnya bukanlah jurnalisnya, tetapi metode yang digunakannya dalam meliput berita.
Ada sejumlah prinsip intelektual dalam ilmu peliputan: 1) Jangan menambah-nambahkan sesuatu yang tidak ada; 2) Jangan mengecoh audiens; 3) Bersikaplah transparan sedapat mungkin tentang motif dan metode Anda; 4) Lebih mengandalkan pada liputan orisinal yang dilakukan sendiri; 5) Bersikap rendah hati, tidak menganggap diri paling tahu.

4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput

Jurnalis harus tetap independen dari faksi-faksi. Independensi semangat dan pikiran harus dijaga wartawan yang bekerja di ranah opini, kritik, dan komentar. Jadi, yang harus lebih dipentingkan adalah independensi, bukan netralitas. Jurnalis yang menulis tajuk rencana atau opini, tidak bersikap netral. Namun, ia harus independen, dan kredibilitasnya terletak pada dedikasinya pada akurasi, verifikasi, kepentingan publik yang lebih besar, dan hasrat untuk memberi informasi.Adalah penting untuk menjaga semacam jarak personal, agar jurnalis dapat melihat segala sesuatu dengan jelas dan membuat penilaian independen. Sekarang ada kecenderungan media untuk menerapkan ketentuan “jarak” yang lebih ketat pada jurnalisnya. Misalnya, mereka tidak boleh menjadi pengurus parpol atau konsultan politik politisi tertentu.Independensi dari faksi bukan berarti membantah adanya pengaruh pengalaman atau latar belakang si jurnalis, seperti dari segi ras, agama, ideologi, pendidikan, status sosial-ekonomi, dan gender. Namun, pengaruh itu tidak boleh menjadi nomor satu. Peran sebagai jurnalislah yang harus didahulukan.

5. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan

Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Wartawan tak sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di masyarakat. Pers percaya dapat mengawasi dan mendorong para pemimpin agar mereka tidak melakukan hal-hal buruk, yaitu hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan sebagai pejabat publik atau pihak yang menangani urusan publik. Jurnalis juga mengangkat suara pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu bersuara sendiri.
Prinsip pemantauan ini sering disalahpahami, bahkan oleh kalangan jurnalis sendiri, dengan mengartikannya sebagai “mengganggu pihak yang menikmati kenyamanan.” Prinsip pemantauan juga terancam oleh praktik penerapan yang berlebihan, atau “pengawasan” yang lebih bertujuan untuk memuaskan hasrat audiens pada sensasi, ketimbang untuk benar-benar melayani kepentingan umum.
Namun, yang mungkin lebih berbahaya, adalah ancaman dari jenis baru konglomerasi korporasi, yang secara efektif mungkin menghancurkan independensi, yang mutlak dibutuhkan oleh pers untuk mewujudkan peran pemantauan mereka.

6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik

Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum di mana publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap.
Maka, jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan kompromi publik. Demokrasi pada akhirnya dibentuk atas kompromi. Forum ini dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang sama sebagaimana halnya dalam jurnalisme, yaitu: kejujuran, fakta, dan verifikasi. Forum yang tidak berlandaskan pada fakta akan gagal memberi informasi pada publik.
Sebuah perdebatan yang melibatkan prasangka dan dugaan semata hanya akan mengipas kemarahan dan emosi warga. Perdebatan yang hanya mengangkat sisi-sisi ekstrem dari opini yang berkembang, tidaklah melayani publik tetapi sebaliknya justru mengabaikan publik. Yang tak kalah penting, forum ini harus mencakup seluruh bagian dari komunitas, bukan kalangan ekonomi kuat saja atau bagian demografis yang menarik sebagai sasaran iklan.

7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan

Tugas jurnalis adalah menemukan cara untuk membuat hal-hal yang penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar atau ditonton. Untuk setiap naskah berita, jurnalis harus menemukan campuran yang tepat antara yang serius dan yang kurang-serius, dalam pemberitaan hari mana pun.
Singkatnya, jurnalis harus memiliki tujuan yang jelas, yaitu menyediakan informasi yang dibutuhkan orang untuk memahami dunia, dan membuatnya bermakna, relevan, dan memikat. Dalam hal ini, terkadang ada godaan ke arah infotainment dan sensasionalisme.

8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional

Jurnalisme itu seperti pembuatan peta modern. Ia menciptakan peta navigasi bagi warga untuk berlayar di dalam masyarakat. Maka jurnalis juga harus menjadikan berita yang dibuatnya proporsional dan komprehensif.

Dengan mengumpamakan jurnalisme sebagai pembuatan peta, kita melihat bahwa proporsi dan komprehensivitas adalah kunci akurasi. Kita juga terbantu dalam memahami lebih baik ide keanekaragaman dalam berita.

9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka
Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab personal, atau sebuah panduan moral. Terlebih lagi, mereka punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa.Agar hal ini bisa terwujud, keterbukaan redaksi adalah hal yang penting untuk memenuhi semua prinsip jurnalistik. Gampangnya mereka yang bekerja di organisasi berita harus mengakui adanya kewajiban pribadi untuk bersikap beda atau menentang redaktur, pemilik, pengiklan, dan bahkan warga serta otoritas mapan, jika keadilan (fairness) dan akurasi mengharuskan mereka berbuat begitu.
Dalam kaitan itu, pemilik media juga dituntut untuk melakukan hal yang sama. Organisasi pemberitaan, bahkan terlebih lagi dunia media yang terkonglomerasi dewasa ini, atau perusahaan induk mereka, perlu membangun budaya yang memupuk tanggung jawab individual. Para manajer juga harus bersedia mendengarkan, bukan cuma mengelola problem dan keprihatinan para jurnalisnya.
Dalam perkembangan berikutnya, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambahkan elemen ke-10. Yaitu:

10. Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita.

Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet. Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan media sendiri. Ini terlihat dari munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism), jurnalisme komunitas (community journalism) dan media alternatif. Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme.

Selasa, 12 Maret 2013

my profil

Nama                 : Gia Mega Pratiwi
Tanggal Lahir      : Tangerang, 03 April 1993
Kuliah di Universitas Budi Luhur-Jakarta Selatan
Fakultas Ilmu Komunikasi Jurusan Broadcast

inilah aku "Gia"